Jumat, 03 Agustus 2012

Aliran Asy’ariah (ASAL-USUL, PANDANGAN, DAN PENDAPAT ALIRAN Asy’ariya


Aliran Asy’ariah (ASAL-USUL, PANDANGAN, DAN PENDAPAT ALIRAN Asy’ariya
Aliran Asy’ariah
aliran asy’ariah dibangun oleh Abu hasan Ali bin isma’il Al-Asy’ari (873-935 M) dalam ilmu kalam, aliran ini sering disebut sebagai aliran tradisonal. pada mulanya al-juba’I adalah sorang tokoh mu’tazilah sehingga menurut al-Husain Ibn Muhammad al-’askari, aljubbai berani mempercayakan perdebatan dengan lawan kepada al-’asyari. hal ini memperlihatkan bahwa al-asy’ari  adalah seorang yang pada mulanya penganut mu’tazilah yang tangguh, sehingga ia mendapat perintah dan kepercayaan untuk berdebat dengan orang-orang yang merupakan lawan mu’tazilah.
tetapi oleh sebab yang tidak begitu jelas, asy’ari sungguhpun telah puluhan tahun menganut paham mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran tersebut. sebab yang biasa dipakai untuk ini berasal dari al-subki dan ibn asakir, yang mengatakan bahwa suatu malam al-asy’ari bermimpi. dalam mimpinya itu Nabi muhammad SAW, mengatakan kepadanya bahwa madzhab ahli hadistlah yang benar dan madzhab mu’tazilah salah. sebab lain bahwa asy’ari berdebat dengan gurunya, al-jubbai dan dalam perdebatan itu guru tak dapat menjawab pertanyaan murid.
tetapi terlepas oleh sebab-sebab tersebut diatas, yang jelas bahwa asy’ari ini muncul sebagai alternatif yang menggantikan kedudukan ajaran teologi mu’tazilah yang sudah mulai ditinggalkan orang sejak zaman almutawkkil. diketahui bahwa setelah al mutawakkil membatalkan putusan makmun yang menetapkan aliran mu’tazilah sebagai madzhab negara. kedudukan aliran ini menurun, apalagi setelah itu al-mutawakkil menunujukkan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap ibn hanbal sebagai lawan mu’tazilah terbesar diwaktu itu.ajran-ajaran asyariah natar lain:
a. sifat Tuhan
karena kontar dengan mu’tazilah, al-asyari membawa paham tuhan mempunyai sifat. menurutnya, mustahil Tuhan mengetahui dengan dzat-Nya, karena ini akan membawa kesimpulan bahwa dzat Tuhan itu pengetahuan-Nya, dan dengan demikian tuhan sendiri menjadi pengetahuan. padahal, Tuahan Bukan pengetahuan (‘Ilm) tetapi yang maha mengetahui (‘alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan, dan pengetahuan-Nya bukan Dzat-Nya. demikian dengan sifat-sifat Tuhan lainnya, seperti hidup, berkuasa, mendengar, melihat dsb.
b. Dalil Adanya Tuhan
menurut mu’tazilah, alasan manusia harus percaya kepada Tuhan karena akal manusia sendiri yang menyimpulkan bahwa tuhan itu ada. sedangkan menurut asy’ariyah, manusia wajib meyakini Tuhan karena Nabi muhammad mengajarkannya bahwa tuhan itu ada sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an. jadi, manusia wajib percaya terhadap adanya tuahan karena diperintahkan Tuhan dan perintah ini ditangkap akal. disini Al-Qur’an menjadi sumber pengetahuan dan akal sebagai instrumennya.
c. kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia
dalam masalah ini asy’ariyah mengambil posisi tengah antara pendapat jabariah dan mu’tazilah. menurut jabariyah, manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya, sedangkan menurut mu’tazilah manusia itulah yang mewujudkan perbuatan dengan daya yang diberiakn tuhan kepadanya. sebagai jalan kelauar dari dua pendapat yang bertentangan itu, asy’ariyah mengambil faham kasab sebagai jalan tengahnya, yang sulit dimenegrti kecuali bila paham kasab itu dipandang, sebagai usaha untuk menjauhi jabariah dan qodariah. namun setelah melalui jalan yang berbelit-belit akhirnya asy’ariyah menjatuhkan pilihannya kepada paham jabariyah.
d. melihat Tuhan di akhirat
menurut asyariyah, Tuhan dapat dilihat diakhirat. alasanya sifat-sifat yang tidak dapat diberikan Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada pengertian diciptakannya Tuhan. sifat dapat dilihatnya tuhan diakhirat tidak membawa kepada pengertian diciptakannya tuhan, karena apa yang dilihat tidakj mesti mengandung pengertian bahwa ia mesti diciptakan. dengan demikian jika dikatakan bahwa tuahn dapat dilihat, itu tidak mesti bahwa tuhan harus bersifat diciptakan.
e. kedudukan Al-Qur’an
berbeda dengan pendapat mu’tazilah yang mengatakan al-Qur’an itu diciptakan, asy’ariyah justru berpendapat bahwa al-Qur’an, sebagai manifestasi kalam Allah yang qadim, tidak diciptakan. menurut asy’ariyah jika al-qur’an diciptakan diperlukan kata kun, dan untuk terciptanya kun yang lain, dan seterusnya hingga tidak ada habis-habisnya dengan demikian al-qur’an tidak mungkin diciptakan (baru). yang baru itu al-Qur’an berupa huruf dan suara sebagaimana yang ditulis dalam mushaf.
sumber Buku paket materi PAI disusun oleh Erwin Yudi Prahara M.Ag STAIN Ponorogo 2008
sumber Drs. Abuddin Nata, M.A, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tsawwuf (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1998

1 komentar: